SEJARAH SALAH SATU PERGURUAN PENCAK SILAT DI INDONESIA (PENCAK SILAT MERPATI PUTIH )
MERPATI PUTIH merupakan kependekan dari 2 kalimat berbahasa
jawa yang mempunyai arti yang sangat dalam yaitu:
1. Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening
2. Manunggalno Estining Roso Pikiran Ati Tumuju Ing Pangeran
Udinen Tataran Ingkang Hagung
Jika diartikan dalam bahasa indonesia akan bermakna sangat
luas, sedangkan untuk pengertian secara ringkas berarti:
1. Mencari tindakan yang paling tepat dalam keheningan
2. Menyatukan Cipta Karsa Rasa Pikiran dan Hati Kepada ALLAH
SWT. untuk Mencapai Kemuliaan
Mersudi, suatu kata yang mempunyai sikap aktif, berupaya dan
berusaha sampai mendapatkan dengan penuh kesabaran, Agar dapat menggambleng
diri sendiri supaya dapat menghayati tujuan yang dicapai. Patitising, artinya ketepatan, tepat dalam sasaran, tepat
dalam penilaian masyarakat yang selaras dengan maksud dan tujuan perguruan. Tindak, adalah sikap, perilaku atau perbuatan. Pencerminan
dari kata ini yang paling mudah adalah penampilan. Pesilat Merpati Putih yang
sudah ditempa harus dapat menjadi suri teladan yang baik bagi teman-temannya. Pusakane, adalah bukan merupakan perwujudan pusaka pada
umumnya, namun satu pedoman yang merupakan tonggak kebenaran. Suatu kebenaran
yang hakiki yang mampu menjadi tiang bendera panji perguruan. Titising Hening, segala sesuatunya harus dimulai dengan
sesuatu yang khusus, bersih dan suci. Untuk pencapaian kesucian dan hening,
memerlukan pengendalian diri-pribadi, mengendapkan segala kehendak, mengekang
hawa nafsu dan yang terpenting adalah sikap pasrah bersandar sepenuhnya secara
lahir dan batin kepada Tuhan Yang Mahaesa
Merpati putih (MP) merupakan warisan budaya peninggalan nenek
moyang Indonesia yang pada awalnya merupakan ilmu keluarga Keraton yang
diwariskan secara turun-temurun yang pada akhirnya atas wasiat Sang Guru ilmu
Merpati Putih diperkenankan dan disebarluaskan dengan maksud untuk ditumbuh kembangkan
agar berguna bagi negara.
Seni Beladiri Tangan Kosong Merpati Putih yang organisasinya
terbentuk pada tanggal 2 april 1963 di Yogyakarta, merupakan nilai budaya
bangsa Indonesia yang diturunkan oleh Sang Guru Saring Hadi Purnomo kepada
kedua putranya yaitu Poerwoto Hadi Purnomo dan Budi Santoso Hadi Purnomo (Alm).
Dalam rangka pengembangannya, seni beladiri ini didasarkan
atas empat sikap, watak dan perilaku sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang
Guru yaitu : welas asih, percaya diri sendiri, keserasian dan keselarasan dalam
penampilan sehari-hari, dan yang terakhir menghayati dan mengamalkan sikap itu
agar menimbulkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Gambaran awal dari perjalanan dari keilmuan dan perkembangan
perguruan berasal dari Keraton Mataram lama di Kartosuro yang berasal dari
seorang wanita bangsawan yaitu Nyi Ageng Joyorejoso yang kemudian mempunyai
tiga orang putra yaitu Gagak Handoko, Gagak Samudero, dan Gagak Seto masuk
dalam Grat IV.
Gagak Handoko mengembara ke dareh timur Pulau Jawa melalui
pantai selatan sehingga sampai di daerah gunung Kelud dengan tujuan mempelajari
dan mengetahui keadaan daerah itu, disamping sambil mencari dua saudaranya yang
terpisah. Di dalam pengembaraannya beliau menyamar sebagai Ki Bagus Kerto.
Sebelum beliau mengembara, perguruan Gagak Handoko yang didirikan di Gunung
Jeruk telah berkembang dengan cepat.
Beliau sadar akan usianya yang semakin tua. Beliau memberi
mandat penuh dan amanat pada keturunannya yang pada silsilah termasuk dalam
Grat V, yaitu R Bongso Permono Ing Ngulakan Wates. Setelah Gagak Handoko
menyerahkan tampuk kepemimpinan perguruan, beliau lalu menyepi (bertapa)
mencari kesempurnaan hingga sampai meninggalnya di Gunung Jeruk.
Dari R. Bongso Permono kemudian diturunkan ilmunya kepada
keturunannya yaitu RM. Wongso Widjojo. Beliau lalu mengikuti jejak ayahnya
mencari kesempurnaan.
Pada masa kepemimpinan RM. Wongso Widjojo, oleh karena beliau
tidak mempunyai keturunan, maka beliau mengambil murid yang kebetulan dalam
keluarga masih ada hubungan cucu, yang bernama R. Sarengat Siswo Hardjono
(Sarengat Hadi Poenomo), yang termasuk dalam garis keturunan VII (Grat VII).
Perlu diketahui bahwa ajaran tersebut belum lengkap, maka
beliau tidak segera mengembangkan /mengajarkan pada keturunannya, akan tetapi
berusaha keras menelaah dan menjabarkan ilmu tersebut menuangkan dalam gerak
silat dan tenaga yang tersimpan yang ada di naluri suci. Tidak berhenti disitu
saja, beliau juga mencari kelengkapannya, yaitu dari ajaran Gagak Samudero dan
Gagak Seto. Akan tetapi beliau belum berhasil juga menemukan langsung, hanya
naluri beliau, bahwa dua aliran yang mempunyai materi yang sama tersebut
mengembangkan ilmu di daerah pantai utara Pulau Jawa.
Hasil dari pengembangan ilmunya itu lalu diturunkan kepada
kedua putranya (2 orang kakak beradik) yang bernama Poerwoto Hadi Poernomo (Mas
Poeng) dan Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Bud). Sekitar tahun 1960 R Sarengat
Hadi Poernomo aktif membina putranya untuk menguasai beladiri Mataram ini yang
dinamakan Merpati Putih.
Pada tahun 1962 kedua putera R. Sarengat Hadi Poernomo
mendapat amanat dari Sang Guru, yang sekaligus ayahnya, agar ilmu beladiri yang
sebelumnya milik keluarga tersebut disebarluaskan kepada umum demi kepentingan
bangsa. Sejak saat itu beladiri Mataram yang kita kenal dengan Merpati Putih
dikenal oleh Masyarakat berkat usaha keras dan tekun dari kedua putera Sang
Guru. Dalam menyampaikan latihan Sang Guru tidak segan-segasn turun langsung
dan memberi wejangan yang pada dasarnya untuk membangkitkan gairah dan
perkembangan Merpati Putih.
Tahun 1968 kedua putera Sang Guru sebagai pucuk pimpinan menjadi
motor untuk mengembangkan sayapnya, yaitu dengan dibukanya cabang pertama di
Madiun, Jawa Timur. Selanjutnya pihak militer juga ditembus. Dari hasil
peragaannya, Merpati Putih mendapat kehormatan untuk melatih anggota Seksi I
Korem 072 dan Anggota Batalyon 403/Diponegoro di Yogyakarta.
Tahun 1973 melalui perkenalan-perkenalan sebelumnya dengan
pihak AKABRI, Merpati Putih mendapat undangan untuk diadakan penelitian dari
segi-segi yang menyangkut metode latihan. Penelitian di bagian AKABRI Udara ini
ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dari Fakultas Kedokteran UGM, antara lain
Prof. Dr. Achmad Muhammad. Hasilnya menggembirakan, dan ini mendorong
pengembangan wawasan yang lebih luas bagi Merpati Putih.
Di Jakarta tahun 1976, setelah berhasil melakukan pendekatan,
Merpati Putih mendapat kehormatan untuk melatih para Anggota Pasukan Pengawal
Presiden. Tahun 1977 Komisariat Jakarta dibentuk, dan pada tahun ini pula
Merpati Putih mendapat peluang untuk melatih pasukan Koppasandha (RPKAD) di
Cijantung sampai mereka sanggup memperagakan keahlian mereka pada acara
peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1978.
Pada awal hijrahnya Mas Poeng dan Mas Bud ke Jakarta sejak
Maret 1976, dengan membina Pasukan Pengawal Presiden dan Koppasandha, maka
secara mendadak pula membina pelajar/mahasiswa di Jakarta. Dengan kondisi
tersebut perguruan merasa kedodoran, terutama dalam menyiapkan kader pelatih
dan masalah keorganisasian serta metode pendidikan dan latihan. Oleh sebab itu
sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 1985, perguruan melakukan pembinaan secara
terus menerus ke dalam, guna persiapan menghadapi perkembangan perguruan yang
animo dan keinginan masyarakat begitu besar terhadap Merpati Putih.
Persiapan tidak hanya diarahkan pada penyedian kader pelatih
saja, namun kesiapan metode dan program yang teruji pun menjadi garapan
perguruan. Sejak tahun 1973, penelitian dengan nama SETA (Sehat dan Tangkas)
yang dilakukan bekerjasama dengan AKABRI Bagian Udara dan UGM. Uji coba dan
penelitian terus dilakukan pada kegiatan-kegiatan sejenis, seperti kerjasama
perguruan dengan Kobangdiklat/Pusjasmil TNI AD di Cimahi tahun 1984, kerjasama
dengan rumah sakit Pertamina di Jakarta tahun 1984, bekerjasama dengan YON II
203/Arya Kemuning tahun 1985, bekerjasama dengan UPT Lab Uji Konstruksi BPPT
Serpong Tangerang tahun 1986.
Dengan persipan perguruan, baik dari segi organisasi maupun
keilmuan, maka selanjutnya dari tahun ke tahun Beladiri Tangan Kosong Merpati
Putih berkembang keseluruh pelosok tanah air. Data terakhir yang diperoleh
telah terbentuk 62 cabang dan 3 cabang diantarannya di luar negeri.
Kendati perkembangan perguruan meliputi aspek beladiri dan
olahraga berkembang cukup pesat, namun perguruan tetap mencoba menyentuh aspek
sosial, yakni melalui Yayasan Merpati Putih Abadi membuat dan melaksanakan
suatu program pembinaan bagi tuna netra sejak tahun 1989. Program ini mendapat
simpati dari pihak pemerintah dan masyarakat luas, sehingga dalam
perkembangannya sudah dibentuk beberapa pusat/sentral pembinaan Merpati Putih
di beberapa cabangnya.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Perguruan Pencak Silat Bela
Diri Tangan Kosong Merpati Putih mendapat tempat diberbagai kalangan sebagai
salah satu aset kebudayaan bangsa yang patut dibanggakan dengan tidak
menghilanglan jatidirinya sebagai perguruan pencak silat dengan bernaung
dibawah bendera IPSI.